Aku
seorang anak dari seorang ibu yang berpaham islam tradisional dan ayah seorang
katolik. Perkawinannya membawaku kepangkuan islam. Jelas aku dididik dengan
cara ibu. Aku dan adik-adik diharuskan shalat 5 waktu. Saat SMP aku
belajar bersosialisasi dengan memasuki Karang Taruna. Lepas SMP aku memasuki
sekolah kejuruan 1985. Tak kusia-siakan waktu, aku mengikuti kegiatan drama dan
Rohis. Aktivitas dipengajian membuat ortu senang, karena aku sebagai anak
sulung harus dapat menjadi contoh.
Tanda-tanda
keanehan demikian ortu memandang penampilanku dengan baju lengan panjang,rok
panjang, dan jilbab. Sebenarnya meraka Cuma kaget karena hal ini identik dengan
tradisi keluarga ibuku yang dekat dengan budaya pesantren. Hal ini aneh, bahkan
ditentang oleh sekolahku yang milik pemerintah dan mereka menentang siswinya
berjilbab. Ayah menggugahku dengan jiwa
nasionalisme ala ABRI. “Kamu itu hidup disuatu Negara, punya peraturan dan
harus diikuti. Kalau tidak taat, kamu melawan pemerintah secara langsung.”katanya.
“Aduh, ayah kalo gitu gimana posisi manusia dengan hokum Allah. Padahal kita
hidup dibumi Allah. Gimana logikanya,yah? Berarti kita menentang Allah,dong?
Pasca jilbab
aku dan ayah sering dalam diskusi yang menunjukkan ketidaksukaannya terhadap
perubahanku.
“Kamu
anak ABRI, kalau tidak taat pada sekolah, silahkan keluar cari sekolah lain!”
“Iya,
saya siap.”tantangku
“Kalau
kamu keluar, bapak tidak akan membiayai sekolahmu.”
“Saya
tidak akan meminta sepeserpun dari bapak,” jawabku dengan berani
Astagfirullah
aku berani menentang seorang laki-laki yang menjadi ayahku. Begitu beraninya!
Tapi aku yakin, aku benar dan ayah, benar dengan jiwa nasionalismenya. Bukankah
aku belajar agama untuk memperbaiki akhlaq? Tetapi semangat keislaman dan
penentangan dari ayah membuat kami bermusuhan. Sementara itu, ibu mencoba
memahami cara ibadahku dengan yang ia ajarkan sejak kecil. “Kamu sudah besar,
kamu yang menanggung sendiri segalanya.”katanya
Sikap “bermusuhan”
juga dilakukan oleh lingkungan rumahku. Alhamdulillah pengajian di Rohis menjadi
santapan rutin yang menguatkan semangatku. Walau aku sudah berjilbab, aku belum
mengaji. Teman-teman ikhwan disekolah memperhatikan hal itu. Kami janjian
dikantin. Ia mengajakku ikut dauroh
(pelatihan). Aku dan temanku menunggun ikhwan yang mengantar kami ke masjid
Al-azhar agar kami berkumpul dengan sesame akhwat. Ia datang , kamipun
berjalan. Aku dan temanku menggerutu,” Kok dia ngajak tapi kita ditinggal?” Kami memutuskan balik ke
sekolah lagi. Saat ikhwan melihat kebelakang, kami sudah lenyap. Ia menyusul
kami kembali. “Kakak sih, kami ikutin kakak tapi kakak jalan duluan.”sambut
kami kepadanya. Kami ingin jalan berengan. Ternyata aku mendapat pelajaran baru
bahwa islam membatasi pergaulan laki-laki dan perempuan seperti Nabi Musa
dengan dua putrid Nabi Syu’aib.
Langkah
kedepan yang spektakuler aku tempuh, aku mengadakan halaqah(pengajian) dirumah.
Ikhwan yang datang langsung dipanggil bapak. Aku berdialog dengan bapak tentang
kekafiran mengingat kakek bapak beragama nasrani.
“Kamu
menganggap mbahmu kafirkan?”serang bapak
“Emang.” Kataku
enteng
“jadi
masuk neraka” serangnya lagi
“Iya.” Jawabku
dengan yakin
“Jadi
kamu tega mbahmu masuk neraka?”katanya
Dialog-dialog
tersebut selalu menyudutkan posisi ayah. Dialog itu berubah menjadi meninggi.
Puncaknya ayah tidak bisa menguasai emosinya dan mengusirku. Aku siap dengan
tantangan itu. Subhanallah, ibu selalu membelaku dan tidak menerima kata-kata
ayah. Ia menangisi kepergianku. Aku.. apakah harus pergi? Kulihat ibuku tetap
menangis. Ku dengar dalam isaknya ia berbicara pada ayah,” Bagaimanapun ia
anakmu!” Ayah gusar dan suaranya meninggi,” Buat apa kalau anak menyimpang dari
bapaknya, kita kan makan dari pemerintah, kenapa kita menentang pemerintah?”Ibu
menghampiriku,”Sudahlah kamu itu harus paham, bapak tidak begitu paham dengan
agamanya. Kalau bapak ngajak dialog, kamu pergi saja.!” Akhirnya aku tetap
dirumah, hubunganku sedikit retak dengan ayah.
Penentangan
jilbab terutama disekolahku. Mereka memperbolehkan jilbab disekolah tapi tidak
dikelas. Aku dan kakak kelas sebelumnya
melakukan bongkar pasang. Jumlah jilbaber semakin bertambah banyak. Sekolah
mengeluarkan peraturan untuk menekan jumlah dengan harus melepas jilbab dari
depan gerbang. Kami membandel dengan membukanya di mushala. Kepergok guru, ya
diperingatkan dan disuruh buka. Kepergok satpam, ini bahaya sebab ada satu
satpam yang tidak berperijilbaban. Kami diseret keluar gerbang. “Iih mana
toleransinya,pak?”
Saat
pulang, dari gerbang pula mulai memakai jilbab. Aku dan teman mencoba
memakainya dari kelas. Sampai dibawah kami bertemu dengan ibu guru,” Eh kamu
tunggu dulu!” Kami nyengir dan mempercepat
jalan. Ibu gurupun terus mengejar ke gerbang, ke jalanan, ke terminal blok-M.
Pak satpam yang baik membiarkan kami melewati gerbang sekolah dan saat melewati
dinas kapolri, pengawalnya menggoda kami,”Ayo
dikerjar tuh, ayo…ayo lari!” Ibu guru separuh baya itu terus mengejar
kami. Tanpa melihat nomor metromini kami langsung naik, save by the bus. Ibu itu mengacungkan tangannya kearah kami.
Masya Allah ibu kuat sekali, sampe kami ngos-ngosan.
Kami dan
sekokah masih dalam gencatan senjata. Kakak kelas berusaha berdialog tapi tidak
mencapai titik temu. Kami harus tetap bongkar pasang di gerbang. Kami
memutuskan keluar, apalagi ada ikhwan yang men-drop dana untuk biaya sekolah kami.
Satu hal yang kupelajari bahwa keputusan itu harus dilihat dari berbagai
segi pertimbangan. Siapa yang berdakwah
disini kalau semuanya keluar? Akhirnya kami tetap disini dan membuktikan kami
bisa berprestasi.
Alhamdulillah
posisiku dikelas membua teman-teman mau membantu. Kami bergaul baik dan membatasi
diri bergaul dengan teman laki-laki. Rambut kami dikuncir dan diriap bagi yang
pendek. Istirahat kami berkumpul di mushala merapikan diri. Pernah kejadian,
seorang akhwat diisengi oleh anak laki-laki. Ia mengatakan,” Bego banget sih,
rambut bagus-bagus diumpetin!” Yang
rambutnya terpegang juga ada, akhwat itu marah-marah.
“Jangan
dipengang, inikan aurat” katanya dengan marah
“Itu kan
bukan aurat, dipegang ga berdarah.” Balas temanku itu
“Kalau ga
berdarah kenapa kamu ga pegang gigi saya saja?”
Oala,
benar juga kenapa? Perempuan dengan rambut memiliki daya tarik tersendiri bagi
laki-laki. Subhanallah Allah telah memuliakan kami dengan jilbab. “Kuatkan
kami, ya Allah . Untuk selalu dijalanMu.”
Berislam
harus kaaffah(menyeluruh) tapi masya Allah itu sulit sekali. Keaktifanku di
Rohis tidak menyurutkan teman-teman drama. Saat perpisahan kelas 3 aku diajak
untuk menyumbangkan suara dalam sebuah lakon. Usai tampil, kakak ikhwan sudah
menunggu didepan pintu. “Akhwat ga boleh
tampil,suara yang tampil……, saya tau itu suara kamu.”ucapnya dengan marah. “Norak banget sih, kan orangnya ga keliatan?”
balasku dalam hati. Astagfirullah, aku mencoba membenarkan diriku.
Alhamdulillah, aku tak menyangka ukhuwah dalam islam berarti benar-benar
meluruskan teman yang mulai bengkok. Tak pernah kutemui lagi ikhwan-ikhwan yang
tanpa pamrih mengingatkan adik-adik kelasnya. Dan kami akhwat tidak ge-er
karena kakak ikhwan memperhatikan kami sama baiknya.
Kurenungi
semua tindakan teman-temanku, guru, ortu yang awalnya mereka semua antipati. Subhanallah mereka berubah menjadi simpati,
karena siswi berjilbab dari tahun ke tahun tidak pernah lenyap. Adik-adikku
satu persatu mengikuti langkahku. Ayah sudah mulai menerima pemahamanku bahkan sekarang
sudah mulai menunaikan shalat. Si Bungsu yang masuk pesantren mengatakan,”
Tidak mau pulang kerumah kalau bapak belum shalat.” Ia sedih karena orang yang
tidak shalat akan masuk neraka. Bapak mengabulkan permintaannya. Alhamdulillah,
Jangan kau bolak-balikkan hati kami setelah kami mendapatkan hidayah-Mu. Itu
yang aku inginkan dalam hidup ini.
Sumber : Buku putih “Revolusi Jilbab” .
Kasus pelarangan jilbab di SMA Negeri Se-Jabotabek, 1982-1991
likeeee :)
BalasHapussilahkan di share....semoga bermanfaat
BalasHapus