Bismillahirrohmaanirrohiim
Alhamdulillah, segala puji hanya milik
Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dari judulnya serem ya? hoho. Kayanya ni curahan hati
banget gitu ya? Tapi....insya Allah ini bermanfaat dan untuk kebaikan... InsyaAllah ada hikmahnya.
Jadi, hayati, pahami, renungi.. Daaan selamat membaca! ^_^
Saya mau keluar dari Rohis saja!!!
Ustadz, dulu ana merasa semangat dalam
dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering.
Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh." Begitu
keluh kesah seorang mad'u kepada murabbinya di suatu malam.
Sang murabbi hanya terdiam, mencoba
terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu, apa yang
ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murabbi
setelah sesaat termenung.
“Ana ingin berhenti saja, keluar dari
tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak
islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti, kaku dan sering
mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri
saja..." jawab mad'u itu.
Sang murabbi termenung kembali. Tidak
tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang,
seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.
"Akhi, bila suatu kali antum naik
sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok.
Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau
kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada
tujuan?" tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.
Sang mad'u terdiam berpikir. Tak kuasa
hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.
"Apakah antum memilih untuk terjun
ke laut dan berenang sampai tujuan?" sang murabbi mencoba memberi opsi.
"Bila antum terjun ke laut, sesaat
antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran
air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat.
Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu
datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana
antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan
sang mad'u.
Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu.
Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung
memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan
keluar yang sesuai dengan keinginannya.
“Akhi, apakah antum masih merasa
bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?"
Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad'u. Ia hanya mengangguk.
"Bagaimana bila temyata mobil yang
antum kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Antum akan berjalan kaki
meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?"
tanya sang murabbi lagi.
Sang mad'u tetap terdiam dalam
sesenggukan tangis perlahannya.
Tiba-tiba ia mengangkat tangannya,
"Cukup ustadz, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah.
Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap
kata-kata ana diperhatikan..."
"Biarlah yang lain dengan urusan
pribadi masing-masing. Ana akan tetap berjalan dalam dakwah ini. Dan hanya
Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah
segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana", sang mad'u
berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.
Sang murabbi tersenyum. "Akhi,
jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya
banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang
mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk
berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik
pilihan Allah."
"Bila ada satu dua kelemahan dan
kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana
Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan
mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama
ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka."
"Futur, mundur, kecewa atau bahkan
berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap
ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka kapankah dakwah ini
dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.
"Kita bukan sekedar pengamat yang
hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan.
Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. Kita
adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi
masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru
semakin memperuncing masalah."
"Jangan sampai, kita seperti
menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa
menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"
Sang mad'u termenung merenungi setiap
kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap
bergelayut dihatinya.
"Tapi bagaimana ana bisa
memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?" sebuah
pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.
"Siapa bilang kapasitas antum
lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas
yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik
dari yang lain!" sahut sang murabbi.
"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah
taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang
terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang
beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan
bertaubatlah. Singkirkan segala ghil (dengki, benci, iri hati) antum terhadap
saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui
kemuliaannya."
Suasana dialog itu mulai mencair.
Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam
jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail
malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad'unya yang lain dari
asyik tidurnya.
Malam itu, sang mad'u menyadari
kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam
mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang diharapkan
dari Antum/antunna yang membaca tulisan ini.. Insya Allah kita tetap istiqamah
di jalan dakwah ini.. Dalam samudera tarbiyah ini..
Wallahu a'lam.
Ya. Itulah tadi kisah
seorang pemuda dengan organisasi
yang digelutinya (Rohis).
Mungkin kita sama, punya
banyak masalah-masalah dengan organisasi yang kita geluti. Bisa jadi di OSIS? Ekskul? atau ROHIS? atau mungkin organisasi diluar sekolah? Bisa saja, permasalahannya
sama dengan cerita tadi . Siapa tau??
Tapi yang terpenting dari
cerita tadi dan terpenting untuk semuanya adalah,,,Bangkitlah! Segera!
Karena sesungguhnya, antum/na-lah para “Da’i/ah”!
Di pundak antum/na-lah segala harapan dakwah untuk kebaikan Islam tersandar...
Antum/na-lah harapan generasi pendahulu!
Jangan berpikir “seberapa
sering antum/na jatuh,
tapi berpikirlah seberapa sering antum/na bangkit dari kejatuhan antum/na!”
Masih ada waktu kok untuk
merubah segalanya sebelum tongkat
estafet dakwah ini bergulir nanti.
Dan juga, tetap ingat
bahwa dibalik kerja, lelah, serta
pengorbanan antum/na untuk kebaikan Islam...
Allah akan selau
melihatnya...
....
....
Ayo Semangat!
Antum/na ga sendirian!
Pemimpin ga boleh galau!
0 comments:
Posting Komentar