Beginilah Jalan Dakwah Mengajarkan Kami

Leave a Comment

Bab I
Dari Sini Kami Memulai



ü  Mengapa Berada di Jalan Da’wah?
Sesungguhnya jalan da’wah ini adalah kebutuhan kami sendiri. Rasa kebutuhan yang melebihi sekedar merasakan bahwa jalan ini merupakan kewajiban yang harus kami lakukan,karena kami melangkah di jalan ini merupakan bagian dari rasa syukur kami atas hidayah Allah SWT.

Jalan da’wah mengajarkan bahwa kami memang membutuhkan da’wah. Lalu kebersamaan dengan saudara-saudara di jalan ini semakin menegaskan bahwa kami hidup bersama di jalan ini agar berhasil dalam hidup dunia dan akhirat. Kami semakin mendalami pesan Rasulullah SAW,
“Barangsiapa mengajak kepada petunjuk Allah,maka ia akan mendapat pahala yang sama seperti jumlah pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka.” (HR. Muslim)

Tak ada makhluk Allah yang mendapat dukungan do’a seluruh makhluknya kecuali mereka yang mengupayakan perbaikan dan berda’wah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
“Sesungguhnya Allah,para malaikat,semut yang ada di dalam lubangnya,bahkan ikan yang ada di lautan akan berdo’a untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR.Tirmidzi)

Alasan lainnya adalah karena da’wah akan menjadi penghalang turunnya azab Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an,
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat diantara mereka berkata: “Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kamu mempunyai alasan (pelepas tanggungjawab) kepada Tuhanmu,dan supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-A’raf:164)

Allah SWT menjelaskan tiga kelompok manusia dalam masalah ini. Mereka adalah kelompok penyeru da’wah yang shalih,kelompok shalihin tapi tidak menyerukan da’wah dan orang-orang yang mengingkari da’wah. Kelompok orang-orang shalih yang telah berda’wah dan berupaya mewujudkan perbaikan,mengangkat alasan kepada Rabb mereka. Maka pada ayat selanjutnya Allah SWT berfirman:
“Maka tatkala mereka mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras,disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (QS. Al-A’raf:165)

Inilah yang disabdakan Raslullah SAW tatkala Zainab radhiallahu ‘anha bertanya kepadanya, “Apakah kita akan dihancurkan oleh Allah,sedangkan diantara kita ada orang-orang shalih?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya,jika keburukan itu sudah dominan.” (Muttafaq’alaih). Ada pula hadits rasulullah SAW yang lainnya,Abu Bakar radhiallahu ‘anhu mengatakan, ”Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya manusia jika mereka melihat kemungkaran dan mereka tidak merubahnya dikhawatirkan mereka akan diratakan oleh Allah SWT dengan azab-Nya.” (HR.Ahmad dan Abu Daud)

ü  Teman-teman Pilihan
Ar rafiq qabla thariiq memilih teman harus didahulukan sebelum memulai perjalanan. Itulah sebabnya para ulama juga turut menjelaskan bahwa keberadaan seorang teman menjadi salah satu diantara adab orang yang ingin menempuh perjalanan. Seperi dikatakan Imam Al Ghazali:”Hendaknya orang yang ingin berpergian memilih teman. Jangan ia keluar seorang diri. Pilih teman dahulu,barulah tempuh perjalanan.Hendaknya teman yang menemaninya dalam perjalanan  itu adalah orang yang bisa membantunya dalm menjalankan prinsip agama,mengingatkannya tatkala lupa,membantu dan mendorongnya ketika ia tersadar. Sesungguhnya orang itu tergantung agama temannya. Dan seseorang tidak dikenal kecuali dengan melihat siapa temannya..” (Ihya’ Ulumiddin, 2/202)

Apa yang dikatakan Imam Al Ghazali rahimahullah itu sebenarnya,mengambil intisari hadits Rasulullah SAW: “Andai manusia mengetahui apa yang akan dialami seseorang jika ia seorang diri,niscaya tak ada orang yang menempuh perjalanan malam seorang diri.”(Fath Al Bary,6/138)
Perjalanan dalam da’wah ini juga bisa dikiaskan dengan perjalanan dalm urusan lain yang memerlukan syarat-syaratnya sendiri. Dan salah satu syarat perjalanan itu adalah Ar rafiiq ash shaalih (teman yang baik).

ü  Kami dan Amal Jama’i
Amal Jama’i artinya merupakan suatu pekerjaan secara berjama’ah,tidak sendiri-sendiri,saling membantu untuk mencapai tujuan tertentu. Pekerjaan yang dimaksud adalah berda’wah untuk mewujudkan cita-cita Islam. Pemahaman ini berdasarkan banyak hal prinsipil sekali:

Pertama,dalam kitab Al Hall al Islamy,Faridhah wa Dharurah,DR.Yusuf Al Qaradhawi mengatakan, “Amal jama’I itu harus dilakukan. Karena ia termasuk di dalam perintah yang diwajibkan agama dan tuntutan realitas sekaligus. Sedangkan amal jama’I termasuk salah satu bentuk amal kebaikan dan ketaqwaan yang palig khusus,paling prinsipil dan paling penting.” Al Qur’anul Karim menyebutkan,
“Dan hendaklah (ada) diantara kalian umat yang menyerukan pada kebaikan, memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari yangmungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang menang.” (QS. Ali Imran:104)

Dalam tafsir AlManar disebutkan,”yang benar adalah,terminology umat lebih spesifik daripada terminology jama’ah. Ummat mewakili keterpaduan berbagai kelompok yang memiliki anggoat,dimana anggotanya mempunyai ikatan yang menghimpun mereka dan kesatuan yang menyatukan mereka seperti anggota tubuh seseorang.”

Kedua,kaidah syar’iyah yang berbunyi,maa laayatimmu al waajib illa bihi fa huwa waajib. Bahwa sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kewajiban tersebut kecuali dengan sesuatu itu,maka sesuatu itu hukumnya wajib.

Ketiga,realitas yang kami lihat sendiri bahwa manusia cenderung akan menjadilemah ketika bekerja seorang diri. Sebaliknya akan menjadi kuat dan berdaya ketika ia bersama-sama dengan yang lain.

Keempat, realitas pihak-pihak yang melakukan tekanan dan pertentangan dengan Islam,sipapun namanya dan apapun kelompoknya,semuanya melakukan aksi secara berkelompok,berpartai,berorganisasi. Tidak masuk akal jikakami harus menghadapi kekuatan structural yang menekan Islam itu dengan kekuatan orang per orang.itu artinya kami harus mempunyai struktur da’wah Islam yang kuat dan solid untuk menghadapi tekanan tadi. Itulah yang dikatakan Abu Bakar Shiddiq ra kepada Khalid bin Walid ra, “ Haarib hum bi mitsli maa yuhaaribuunaka bihi. As saifu bi as saif. Waa r rumh bir rumh…” Perangi mereka seperti apa yang mereka lakukan ketika memerangimu. Pedang dilawan dengan pedang. Tombak dilawan dengan tombak.”  

Sampai disini,kamipun mendapatkan firman Allah SWT yang sangat sesuai untuk menjadi pijakan beramal jama’i.
“Adapun orang-orang kafir,sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu,niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS.Al Anfal:73)

Itulah sebabnya,tandzhim atau organisasi da’wah itu sangat diperlukan. Bekerja untuk islam mutlak memerlukan sebuah organisasi,perlu adanya pimpinan yang bertanggungjawab,membutuhkan adanya pasukan anggota yang taat,harus memiliki peraturan mendasar yang mengikat dan menata hubungan anatara pimipinan dan anggota,harus ada yang membatasi tanggung jawab dan kewajiban,menjelaskan tujuan dan sarana serta semua yang diperlukan oleh suatu aktifitas da’wah.

ü  Perjalanan ini Mutlak Memerlukan Pemimpin
Di antara syarat perjalanan adalah keharusan adanya pemimpin. Pemimpin kami adalah orang yang dianggap memiliki kelebihan dalam permasalahan yang sangat dibutuhkan dalam menempuh perjalanan. Dan dalam da’wah,para pemimpin adalah mereka yang memiliki keistimewaan dalam akhlak,ukhuwwah,idariyah (manajemen),dan wawasan ilmunya. Sehingga Imam Al Ghazali juga mengatakan, ”Hendaknya suatu perjalanan dipimpin oleh orang yang paling baik akhlaknya,paling lembut dengan teman-temannya,paling mudah terketuk hatinya dan paling mungkin dimintakan persetujuannya untuk urusan penting. Seorang pemimpin dibutuhkan karena pandangannya yang beragam untuk menentukan arah perjalanan dan kemaslahatan perjalanan. Tidak ada keteraturan tanpa kesatuan pengaturan. Tidak ada kerusakan kecuali karena banyaknya pengaturan. Alam ini menjadi teratur karena Pengatur alam semesta ini adalah satu.” (Ihya Ulumiddin 2/202)
“Jika di alam ini ada banyak tuhan, selain Allah, niscaya akan rusaklah.” (QS. Al Anbiya:22)

ü  Jalan ini, Miniatur Perjalanan Sesungguhnya
Jiwa toleran adalah salah satu pelajaran berharga yang kami petik dari jalan da’wah. Perhimpunan dan perkumpulan kami setiap pecan dalam waktu bertahun-tahun menyebabkan kami mengalami berbagai situasi dimana kami berlatih bersikap. Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW: ”Jika ada seseorang yang mencacimu dan menghinamu dengan sesuatu yang ia ketahui ada pada dirimu.,maka janganlah engkau kembali melakukan hal yang sama lantaran ada sesuatu yang engkau ketahui ada pada dirinya. Karena dengan demikian engkau akan mendapatkan pahala. Dan ia mendapatkan dosanya. Dan janganlah engkau mencaci seseorangpun.” (Al Ahaadits Shahihah,Al Albani no. 770)

Maka dijalan inilah, kami berulang menempa diri untuk bisa mengarahkan perselisihan tidak berakibat pada perpecahan. Kami belajar untuk bisa menerapkan wasiat Rasulullah SAW dalam sebuah hadits shahih :” Dibuka pintu-pintu surga setiap hari Senin dan kamis. Ketika itu diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu. Kecuali seseorang yang antara dirinya dengan saudaranya ada perselisihan. Dikatakan kepada orang tersebut: “Tunda dulu kedua orang ini sampai mereka berdamai.” (HR. Muslim)

Atau sabda Rasulullah SAW, “Tidak halal bagi seorang muslim meninggalkan saudaranya diatas tiga malam. Ketika bertemu,mereka saling menghindar. Dan yang paling baik dari kedua orang itu adalah yang memulai dengan salam.” (Shahih Al Jami’ Ash Shagir,7536).

ü  Tiga Karakter Penempuh Perjalanan
Ibnul Qayyim Al Jauziah rahimahullah menyebutkan bahwa di jalan ini, setidaknya ada tiga kelompok manusia ,sebagaimana juga disebutkan dalam Al Qur’an. Mereka adalah kelompok zaalimun li nafsihi,kelompok muqtashid,dan kelompok saabiqun bil khairaat.

Kelompok zaalimun li nafsihi,adalah orang-orang yang lalai dalam mempersiapkan bekal perjalanan. Mereka enggan untuk mengumpulkan apa-apa yang bisa membuatnya sampai ke tujuan.
Kelompok muqtashid,adalah mereka mengambil bekal secukupnya saja untuk bisa sampai ke tujuan perjalanan. Mereka tidak memperhitungkan bekal apa yang harus dimiliki dan mereka bawa jika ternyata mereka harus menghadapi situasi tertentu,yang mrnyulitkan perjalanannya. Jika mereka sampai ke ujung perjalanan ini,mereka sebenarnya tetap merugi karena luput dari perniagaan yang bisa menguntungkan mereka karena barang dagangan mereka secukupnya saja.

Kelompok saabiqun bil khairaat yakni orang-orang yang obsesinya adalah untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Mereka membawa perbekalan dan barang dagangan lebih dari cukup karena mereka tahu hal itu akan memberi keuntungan besar baginya. Selain itu mereka juga tahu bahwa ditengah perjalanan ini,sangat mungkin mereka mengalami situasi  yang membutuhkan perbekalan tambahan. Di sisi lain mereka juga memandang kerugian yang sangat besar jika ia menyimpan sesuatu dari apa yang dimilikinya dan tidak dijual. ( Thariqul Hijratain, 236)

Kami dan saudara-saudara kami di jalan da’wah berusaha memiliki karakter kelompok kedua dan ketiga. Kami harus memiliki dan mengambil perbekalan yang mencukupi hingga perjalanan ini usai. Dan sebaik-baik perbekalan itu adalah: taqwa. Barangsiapa diantara kita yang minim ketaqwaannya,maka ia akan semakin melemahdan tidak mampu mengikuti perjalanan ini. Fatazawwaduu.. fa inna khaira zaadi ttaqwaa…

Bab II
Ketika Kami Membangun Kebersamaan



ü  Menjadi Batu Bata Dalam Bangunan Ini
Rasulullah SAW bersabda,”Perumpamaan aku dengan nabi sebelumku,ibarat seorang lelaki membuat sebuah bangunan yang diperindah dan dipercantik seluruhnya,kecuali satu tempat untuk batu bata di salah satu sudutnya. Ketika orang-orang mengelilinginya,mereka kagum dan berkata, seandainya ada batu bata diletakkan disitu. Maka akulah batu bata itu,dan aku adalah penutup para nabi.”

Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam Fath Al Bari,menyatakan hadits tersebut mengandung makna yang jelas bahwa Muhammad Rasulullah SAW adalah nabi terakhir dari sekian banyak para nabi sebelumnya. Demikianlah pada dasarnya da’wah ini adalah sebuah estafeta perjuangan. Sebagaimana da’wah yang diserukanpara nabi terdahulu ,dilanjutkan dan disempurnakan dengan da’wah yang diperjuangkan Rasulullah SAW. Menurut Dr. Said Ramadhan Al Buthy, penulis Fisqush Sirah,Dirasat Manhajiah Ilmiah Li Siraitil Mustafa Alaihish shalatu was salam,menguraikan bahwa hubungan antara da’wah nabi muhammad SAW dengan da’wah para nabi terdahulu,berlangsung di atas prinsip ta-kiid (penegasan) dan tatmiim (penyempurnaan). Da’wah para nabi berlandaskan dua asas yaitu akidah (akhlak) dan syariat.

Keberadaaan kami di jalan ini adalah karena kehendak kami untuk ambil bagian dalam bangunan besar ini. Maka sebagaimana proses membangun sebuah bangunan pada umumnya,tukang batu pasti akan memilah-milah batu bata mana yang akan ia tempatkan pada bangunannya. Tak semua batu bata diletakkan pada posisi yang tinggi dan tidak juga harus semuanya ada di bawah. Bahkan terkadang si tukang batu akan memotong batu bata tertentu jika dibutuhkan untuk menutup posisi batu bata yang masih kosong guna melengkapi bangunannya.

“Sesungguhnya medan berbicara itu tidak semudah medan berkhayal. Medan berbuat tidak semudah berbicara. Medan jihad yang benar,tidak semudah medan jihad yang keliru. Terkadang sebagian besar orang mudah berangan-angan,namun tidak semua angan-angan yang ada dalam benak mampu diucapkan dengan lisan. Betapa banyak orang yang dapat berbicara ,namun sedikit sekali yang sanggup bekerja dengan sungguh-sungguh. Dan dari yang sedikit itu banyak yang sanggup berbuat namun jarang yang mampu menghadapi rintangan-rintangan yang berat dalam berjihad…” (Hasan Al Bana).

ü  Batu Bata yang Unik dan Khas
Sebagaimana para nabi dan salafus shalih memiliki kriteria istimewanya yang menghiasi perjalanan mereka dalam memperjuangkan agama Allah SWT. Lihatlah bagaimana kekhususan Rasulullah SAW,
“Aku diberi keistimewaan melalui kemenangan dengan tumbuhnya rasa takut di dalam diri musuh dalam jarak perjalanan satu bulan.”
“Aku diberi kekhususan dengan dijadikan untukku bumi sebagai masjid yang suci. Siapapun dari umatku yang memasuki waktu shalat hendaknya ia segera shalat.”
“Aku dibolehkan mengambil ghanimah (harta rampasan perang) dan tidak diperbolehkan kepada seorangpun sebelumku.”
Masih banyak kekhususan Rasulullah SAW,sebagaimana Abu Sa’id An Nisaburi Dalam kitab Syaraf Al Mushtafa.
Para sahabat rasul yang mulia juga memiliki kekhususan dan keunikan. Dalam sebuah sabdanya Rasulullah SAW mengatakan, “Abu Bakar Shiddiq ra adalah manusia paling penyayang. Umar Al Faruq ra adalah yang paling tegas dalam agama Allah. Utsman ra adalah yang paling tulus dalam sifat malunya. Ali Bin Abi Thalib ra adalah yang paling adil. Ubay Bin Ka’b adalah yang paling menguasai bacaan Al Qur’an. Mu’adz Bin Jabal yang paling mengetahui halal haram. Zaid Bin Tsabit yang paling mudah memberi pinjaman. Ketahuilah sesungguhnya setiap umat itu mempunyai delegasi kepercayaan. Dan orang yang paling dipercaya menjadi delegasi adalah Abu Ubaidah Bin Al Jarrah.” (Sunan Ibnu Majah, no. 154)   


ü  Untuk Menolong, Bukan Ditolong
Kami mempercayai bahwa kehidupan ini milik Allah SWT,milik kaum muslimin dan bukan milik kami sendiri. Semua yang digunakan untuk diri sendiri hilang tapi kebaikan yang diberikan kepada orang lain itulah yang abadi. Itulah yang dituliskan oleh Sayyid Quthb rahimahullah, “Innal laadzi ya ‘iisyu linafsihi, ya’iisyu shagiiran wa yamuutu shagiiran. Wal ladzii ya’iisyu li ummatihi ya’iisyu ‘azhiiman kabiiran wa laa yamtu abadan.” Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Sedangkan orang yang hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar,serta tidak akan pernah mati.
Disini kami lebih merasakan makna kehidupan yang bersumber dari keberartian bagi orang lain melalui firman Allah SWT,
“Jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Allah menolong kalian dan mengokohkan pijakan kaki kalian.” ( QS. Muhammad:9)
Di jalan inilah juga kami semakin terkesan degan hadits Rasulullah SAW,” Peliharalah (hak-hak) Allah, niscaya Ia akan memelihara engkau. Peliharalah (hak-hak) Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya mendukung kalian.”
Di jalan ini ,kami tidak melihat saudara yang kehidupannya terpuruk dan hancur akibat banyak mendermakan ilmu dan pikirannya untuk menda’wahkan masyarakat bila dilakukan dengan niat ikhlas dan kami juga tidak menyaksikan seseorang yang terlantar karena kesibukannya memperhatikan dan memikirkan da’wah. Akhirnya kami mengerti betapa banyak permasalahan yang secara rasio tidak mungkin terjadi karena pertologan dan bantuan Allah SWT.

ü  Berjalan dengan Keseimbangan Ibadah dan Mu’amalah
Keseimbangan itu penting dalam praktik nilai-nilai islam. Sikap seimbang,dan proporsional adalah salah satu pelajaran dan pembinaan yang kami peroleh dari jalan da’wah. Jalan ini tidak memberatkan kami pada satu bidang atau satu bentuk amal shalih dengan mengabaikan bidang amal shalih yang lain. Kami tidak terjebak dalam ruang ubudiyah tanpa ruang mu’amalah. Karena pemahaman seperti ini, amal-amal kami tidak terpusat pada satu bentuk ibadah melainkan tersebar ke berbagai wilayah. Maka Allah SWT menyebutkan Rasulullah SAW dengan firman-Nya:
“Dan karena rahmat Tuhanmulah engkau berlaku lemah lembut kepada mereka. Jika engkau bersifat keras hati niscaya mereka akan menjauhimu.” (QS. Ali Imran : 159)

Jalan da’wah menciptakan suasana yang mendukung kami memadukan amal-amal yang bersifat ubudiyah dan mu’amalah secara baik. Dan jaln da’wah telah membantu kami untuk menjadi manusia Muslim yang tidak hanya melakukan amal-amal ubudiyah secara baik,tapi juga mempunyai peran secara sosial yang baik juga.

ü  Sebaik-baik Bekal adalah Taqwa
Ketika Allah SWT berfirman “wa tazawwaduu, fa inna khaira zaadit taqwa…”,firman Allah SWT ini memiliki makna tersirat bahwa manusia memiliki 2 bentuk perjalanan yaitu perjalanan di dunia dan perjalanan dari dunia. Perjalanan di dunia memerlukan bekal, baik berbentuk makanan,minuman,harta dan sebagainya. Sementara perjalanan dari dunia juga memerlukan bekal yaitu mengenal Allah,mencintai Allah,berpaling dari selain Allah. Dan semua perbekalan itu terhimpun dalam kata “taqwa”. Perbekalan perjalanan dari dunia lebih penting dari perbekalan perjalanan di dunia,karena beberapa hal dan terdapat dalam tafsir ar raazi, yaitu:

1.      Perbekalan dalam perjalanan di dunia akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang belum tentu terjadi,tapi perbekalan perjalanan dari dunia akan menyelamatkan kita dari penderitaan yang pasti terjadi.

2.      Perbekalan dalam perjalanan dunia akan menyelamatkan kita dari kesulitan sementara,tapi perbekalan perjalanan dari dunia akan menyelamatkan kita dari kesulitan yang tiada habisnya.

3.      Perbekalan dalam perjalanan di dunia akan mengantarkan kita pada kenikmatan dan pada saat yang sama mungkin saja kita juga mengalami rasa sakit,keletihan dan kepayahan. Sementara perbekalan perjalanan dari dunia akan membuat kita terlepas dari marabahaya dan terlindung dari kebinasaan sia-sia.

4.      Perbekalan dalam perjalanan di dunia memiliki karakter bahwa kita akan melepaskan sesuatu dalam perjalanan,sedangkan perbekalan perjalanan dari dunia memiliki karakter kita akan lebih banyak menerima dan semakin dekat dengan tujuan.

5.      Perbekalan dalam perjalanan di dunia akan mengantarkan kita pada kepuasan syahwat dan hawa nafsu. Sementara perbekalan untuk perjalan dari dunia akan semakin membawa kita pada kesucian dan kemuliaan. (Tafsir Ar Raazi, 5/168)

ü  Bekal Taqwa, Termasuk Komitmen dengan Jama’ah Da’wah
Disini kami mengambil bekal-bekal ketaqwaan dari teman-teman di jalan da’wah. Kami mendapatkan hamparan jalan melakukan amal-amal shalih lebih bervariasi dan banyak di jaln ini. Karenanya,begitu penting makna keterikatan kami dengan jam’aah da’wah. Seperti perkataan ibnu abbas radhiallahu ‘anhu kepada al hanafi ; “yaa hanafi, al jama’ah.. al jama’ah… sesungguhnya kehancuran umat-umat terdahulu adalah karena mereka terpecah dari jama’ah. Tidaklah engkau mendengarkan firman Allah swt:
“dan berpegang teguhlah kalian pada tali Allah dan janganlah kalian terpecah belah.” (QS. Ali Imran : 103)

ü  Kebersamaan Kami Terikat Lima Hal
Rasulullah SAW telah memberitahukan kami tentang tabi’at orang-orang yang mengikuti jalan perjuagannya. Tapi inilah jalan yang sudah kamipilih,untuk kami lalui dalam hidup dan menuju kebahagiaan hakiki di akhirat. Maka kami harus berusaha megikat diri dengan jalan ini degan saudara-saudara kami di jalan ini. Ada lima ikatan yang setidaknya mengharuskan kami tetap berada di sini:

1.      Rabithatu al ‘aqidah (ikatan aqidah) yaitu tali ikatan aqidah islamiyah yang menyatukan kami dengan jalan ini dengan kesamaan imanlah yang menghimpun kami bersama saudara-saudara kami disini.

2.      Rabithatu al fikrah (ikatan pemikiran) yaitu ikatan yang berdasarkan kesamaan cita-cita dan pemikiran dalam menyampaikan kami kepada keridhaan Allah swt.

3.      Rabithatu al ukhuwwah (ikatan persaudaraan) yaitu ikatan persaudaraan karena Allah dengan kebersamaan kami berjalan dan memenuhi tugas di jalan ini.

4.      Rabithatu at tanzhim (ikatan organisasi) yaitu ikatan yang merupakan perencanaan dan keteraturan yang mengatur langkah-langkah kami dalam jalan organisasi da’wah.

5.      Rabithatu al ‘ahd (ikatan janji) yaitu di jalan da’wah ini kami mengikrarkan janji kepada Allah serta kepada saudara-saudara perjalanan untuk tetap seita dan mendukung perjuangan da’wah.

ü  Afiliasi Formal (Intima Tanzhimi) Dan Afiliasi Non Formal (Intima Afawi)
Inilah yang kami pahami dari kaidah da’wah yang kami petik dari para guru da’wah ,”kam fiina wa laisa fiinaa, wa kam minnaa wa laisa minna.” Berapa banyak orang pada dasarnya berjuang untuk kepentingan da’wah yang juga akan kami perjuangkan akan tetapi ia tidak berada dalam institusi kami dan berapa banyak orang pula yang berada dalam institusi kami tapi tidak murni memperjuangkan kepentingan da’wah yang kami perjuangkan. Ada banyak alasan yang melatarbelakangi kondisi ini yaitu bahwa afiliasi sejati seorang Muslim adalah afiliasinya kepada agama ini. Sebagaimana disebutkan Ustadz Sa’id Hawa rahimahullah, “afiliasi prinsip seorang muslim adalah afiliasinya kepada agama ini setelah runtuhnya khilafah islamiyah dan terpecahnya kaum muslimin ke berbagai wilayah maka afiliasi seorang muslim tidak bisa lagi disatukan pada satu khilafah tertentu. Namun seorang muslim harus menjadi bagian dari kelompok sebagaimana disebutkan aleh nash hadits, “akan selalu ada sekelompok dari umatku yang tetap menampilkan perjuangan terhadap al haq.” Menurut Sa’id Hawwa rahimahullah, afiliasi itulah yag menandakan seseorang telah menunaikan kewajiban zaman dan waktunya disaat ia hidup. (Jundullah Takhithan , 17, Sa’id Hawwa)

ü  Yang Melemahkan Ikatan Dalam Amal Jama’i
Beramal jama’i memiliki seni interaksi sendiri yang harus dimiliki siapa saja yang ingin melakukannya. Ini bukan perkara mudah dan karenanya tidak semua orang bisa berada dalam bangunan amal jama’i untuk da’wah ilallah ini. Ada beberapa keadaan yang umumnya bisa melemahkan seseorang dalm beramal jama’i :

1.      Masalah al fahm (pemahaman). Ada pendapat yang memandang bahwa amal jama’I termasuk ibadah nafilah yang boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan. Bahkan ada yang menganggap tidak sampai nafilah. Dalam situasi konflik kepentingan dan benturan ideologi yang mengelilingi umat islam saat ini,maka tak ada cara yang paling baik dilakukan adalah menolong agama Allah,kecuali amal jama’I yang teratur menjadi kewajiban bagi setiap muslim.

2.      Ketakutan dan kekhawatiran. Maksudnya sikap meninggalkan amal jama’i bisa dilatarbelkangi adanya kekhawatiran amal-amal islam yang dilakukan secara terorganisir dan rapi

3.      Motif ketertarikan terhadap individu,bukan kepada manhaj. Ada sebagian orang yang memandang para tokoh jama’ah da’wah dengan pandangan sangat ideal hingga tahap yang tidak logis. Memang,tidak sedikit orang yang bergabung dalam amal jama’i lantaran terpesona dengan sikap sejumlah tokonya dengan kekaguman yang luar biasa. Lalu bila orang yang diidolakan itu mengalami kelemahan ,ia menjadi sangat kecewa hingga meninggalkan amal da’wah.
Dalam hal ini tentu saja musharahah (keterusterangan) serta kejujuran menjadi penting bagi kami dan saudara-saudara kami. Sesungguhnya kepercayaan antara kami akan semakin terbentuk kuat dengan adanya keterusterangan ini.

ü  Tsiqah Sebagai Maharnya
Ketsiqahan (kepercayaan/keyakinan) adalah analisir penting bagi kami karena tsiqah yang kuat membuat kami secara bersama-sama mampumembuahkan kerja-kerja da’wah yang baik. Mahar tsiqah di jalan ini harus ditunaikan bersama-sama antara kami dengan qa-id (pemimpin) kami di jalan ini. Perbedaannya, jika mahar dalam perkawinan hanya merupakan kewajiban sang suami sedangkan mahar tsiqah dalam jalan da’wah ini harus ditunaikan kedua belah pihak baik pemimpin maupun anggota. Guru kami hasan al banna rhimahullah mengistilahkannya dengan kalimat tsiqah mutabadilah atau tsiqah secara timbal balik antara anggota dan pemimpin dan sebaliknya. Prinsip yang kami pegang sesuai deang sabda rasulullah saw “berbahagialah seorang hamba yang memegang kendali kudanya, kusut masai rambutnya , dan berdebu kakinya. Jika ia bertugas dibelakang ia tetap di belakang. Ketika meminta izin ia tidak diberi izin dan ketika memberi bantuan tidak diperkenankan.” (HR. Bukhari)

ü  Promosi Penempatan Di Jalan Da’wah
Kunci utama atau kriteria utama Rasulullah saw dalam memilih orang-orang yang dilimpahkan tanggungjawab pemimpin yaitu pertama menunaikan haknya (haqqiha) dan menjalankan tugasnya (adda al-ladzi alaihi fiiha). Pengalaman di jalan da’wah mengajarkan beberapa langkah strategis agar tercipta keselarasan antar kami dengan saudara-saudara di jalan ini:

1.      Kami harus bertanya lebih dahulu kepada diri sendiri dan menjawab pertanyaan kami ini harus jujur. Kami harus merenungi dan mendapatkan secara jelas motif-motif itu dengan kejujuran .

2.      Kami harus menunaikan tugas yang telah dibebankan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai ketidakpuasan terhadap posisi tertentu membuat malas menunaikan tugas dan kewajiban.

3.      Kami harus membiasakan untuk menunjukkan keahlian dan memperkenalkannya dengan baik kepada pemimpin dan saudara-saudara di jalan ini.

4.      Terus terang kepada sesama saudara dan pimipinan tentang permasalahan yang ada kaitannya dengan da’wah.

5.      Selalu berharap kepada Allah melalui do’a dalam shalat,sujud dan waktu-waktu mulia agar dikaruniakan amal shalih yang mendekatkan kita kepada-Nya.

Bab III
Perjalanan Beraroma Semerbak



ü  Indahnya Kebersamaan Di Jalan Da’wah
Rasulullah saw bersabda: “tiga hal yang bisa menghalangi kedengkian dalam hati seorang muslim yaitu keikhlasan beramal karena Allah, menasihati pemimpin kaum muslimin dan berpegang pada jama’ah muslimin.” (HR.Turmudzi)

Dalam hadits ini, rasul mengatakan bahwa sikap berusaha untuk tetap berada bersama komunitas muslimin akan bisa membersihkan hati dari kedengkian dan kebencian. Dalam hidup ini , setiap orang mempunyai kelompok dan jama’ahnya sendiri-sendiri. Dan setiap kelompok mempunyai simbol dan syiarnya sendiri-sendiri. Tapi setiap orang,jika tidak diikat dan dihimpun oleh al haq maka ia akan tercerai berai.

ü  Kewajiban Memang Lebih Banyak Dari Waktu
Dalam hukum islam betapa pentingnya penggunaan waktu dengan baik dan islam telah menekankan agar kita tidak tasahul (meremehkan)dan melanggar batas-batas penggunaan waktu. Perhatikanlah firman Allah swt:
“Sesungguhnya shalat itu atas kaum mukminin berupa kewajiban yang telah ditentukan waktunya.” (QS. An Nisaa :103)

Disinilah terdapat hikmah yang amat dalam mengapa Allah swt dan rasulullah saw menyebutkan secara khusus penekanan waktu diantara sekian banyak tuntutan kewajiban seorang muslimin. Kami pun menyadari bahwa kewajiban lebih banyak ketimbang waktu yang tersedia.

ü  Memetik Buah Manfaat Dari Kelebihan Saudara
Salah satu hikmah paling berharga dari persentuhan intensif kami dengan sesama di jalan ini adalah kami semakin mampu memperoleh tenaga dari kelebihan masing-masing saudara. Di jalan ini , kami merasakan pantulan cermin yang begitu jelas dan kuat dari mereka. Kami bercermin dari keistimewaan itu, dan mencoba menghayati sabda rasulullah saw tentang pintu-pintu surga. Dalam hadits shahi yang disebutkan “surga mempunyai delapan pintu. Barangsiapa yang termasuk golongan ahli shalat ia akan dipanggil dari pintu shalat…” (Muttafaq ‘Alaih)

ü  Atmosfir Keshalihan Dari Saudara Shalih
Disinilah kami bisa berjumpa dan berinteraksi secara baik dengan orang-orang shalih,baik mereka yang berusia muda maupun yang sudah sepuh. Pertemuan kami dengan mereka ternyata membawa pengaruh ruhaniyah yang begitu kuat. Kami bisa merasakan suplay energi yang besar saat kami bertemu dan berinteraksi dengan mereka. Sebagaimana yunus bin ubaid yang mengakui kenikmatan besar ketika melihat al hasan al bashri rahimahullah. Ia mengatakan “seseorang bila melihat manfaat dari dirinya,meski orang itu tidak melihat al hasan al bashri beramal dan mengeluarkan ucapan apapun.” (Risalah Al Mustarsyidin,Abi Abdillah Al Haris Al Muhasibi, Hal. 60)

ü  Amal Shalih Yang Tersembunyi
Dalam kebersamaan dan keseringan interaksi seperti itu kami mendapatkan pelajaran lain di jalan ini bahwa ketersembunyian terkadang tetap diperlukan. Karena kebersamaan dan kedekatan yang terus menerus bisa saja menghamparkan jebakan lain yang bisa menodai kebersamaan itu sendiri. Itulah yang dikatakan imam ibnul qayyim rahimahullah bahwa berkumpulnya orang-orang beriman tetap menyimpan marabahaya yang harus diwaspadai. Pertama tatkala dalam perkumpulan itu satu sama lain saling menghiasi dan membenarkan. Kedua,ketika dalam perkumpulan itu pembicaraan dan pergaulan antar mereka menjadi kebutuhan. Ketiga,ketika pertemuan mereka menjadi keinginan syahwat dan kebiasaan yang justru menghalangi mereka dari tujuan yang diinginkan. (Al Fawa-Id,60)

ü  Amal Shalih Yang Harus Tetap Ditampilkan
Jika ada seseorang terhalang melakukan kebaikan dengan alasan khawatir riya,maka keterhalangannya tidak bisa diterima karena beberapa alasan. Pertama amal-amal shalih yang diperintahkan Allah swt tidak boleh terhalang karena kekhawatiran riya. Kedua prinsip yang dipegang para salafushalih adalah penilaian atas yang lahir,tidak menghukumi yang tidak terlihat. Ketiga keraguan menampilkan dan melakukan amal-amal shalih karena riya,akan menambah tekanan bagi orang yang melakukan amal shalih. Keempat tuduhan dan anggapan bahwapelaku kebaikan adalah riya, adlah perilaku orang-orang munafiqin. Sikap ini dijelaskan secara nyata dalam firman Allah swt pada surat At Taubah ayat 79.

ü  Membina Orang Lain Sama Dengan Membina Diri Sendiri
Ketika sudut pandang da cara berpikirnya sudah terpola dengan sudut pandang akidah islam. Itulah kebahagiaan yang kami rasakan di jalan ini. Ketika ini terjadi kami berdo’a agar Allah swt menjadikan amal ini sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw, “jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang melalui perantara dirimu,maka itu lebih baikbagimu daripada engkau memiliki unta merah.” (HR. Bukhari) Tapi di sisi lain ternyata interaksi kami dalam jalan da’wah dan upaya kami mengkader serta membina para objek da’wah,mengharuskan kami untuk terus bercermin dan berhati-hati.

ü  Berpikir Negatif Melemahkan Dan Menghancurkan Semangat
Sudut pandang yang melihat bahwa kondisi sudah sangat rusak atau seseorang sudah terlalu banyak melakukan kesalahan sehingga sulit untuk dirubah adalah sudut pandang yang melemahkan dan mematikan semangat da’wah itu sendiri. Rasulullah saw bersabda,” barangsiapa yang mengatakan bahwa manusia ini telah hancur,maka sebenarnya dia telah menghancurkan mereka. (HR. Muslim) Para salafushalih sangat jarang membicarakan kekurangan sahabat dan orang-orang yang mereka kenal. Tentu bukan karena mereka orang-orang suci yang tidak mempunyai catatan negatif,tapi seperti itulah salah satu wujud persaudaraan para salafushalih. Dan karena sikap mereka itulah yang memotivasi keyakinan kami serta mendorong semangat da’wah kami. 

 Bab IV
Ketika Melewati Jalan Mendaki



ü  Mengkaji Yang Tersirat Dari Yang Tersurat
Jalan da’wah mengajarkan bahwa di saat kami merasakan kegersangan ,kegelisahan, dan sebagainya dalam interaksi kami bersama saudara-saudara di jalan ini,kami harus melihat pada kondisi diri kami sendiri. Artinya sikap pertama yang kami ambil dalam situasi itu adlah mengevaluasi niat,bercermin pada perbuatan perilaku kami selama ini di jalan da’wah. Sikap seperti ini kami ambil dari kisah nabiyullah musa as ketika bertemu dengan rajulun shalih pada surat al kahfi ayat 65-82. Dan begitulah jalan da’wah ini mengajarkan bahwa sebaik-baik kamimelihat kepada diri kami terlebih dahulu,melakukan prasangka baik kepada orang lain ,sampai jelas suatu kebenaran itu benar dan kesalahan itu salah.

ü  Antara Objektivitas Dan Sakralisme
Tidak mungkin sebuah jama’ah da’wah atau kelompok manapun yang bersih sma sekali dari anasir tidak baik atau rusak.meskipun kondisi itu juga bukan gejala umum melainkan kasuistik sekali. Tapi yang penting kami mengetahui bahwa realitas negatif ini memang tidak mustahil keberadaannya dalam tubuh jama’ah da’wah. Kami harus yakin bahwa tabiat jaln da’wah akan selalu menolak anasir yang buruk dan melanggengkan anasir yang baik. Jalan ini memiliki tabiat melenyapkan karat dan kotorannya sebagaimana firman Allah swt  pada surat Ar Ra’d ayat 17.

ü  Tidak Boleh Ada Bias Orientasi Di Jalan Ini
Di jalan ini kami belajar bahwa permasalahan kekuasaan hanya ada pada dua masalah yakni pertama proses mencapainya dan kedua penggunaan atau pengelolaannya. Yang dimaksud dengan proses mencapai kekuasaan adalah kekuasaan tidak boleh diperoleh dengan permintaan individu dan bukan datang dari keinginan pribadi,tapi harus datang dari orang lain yang mengharapkan perannya dalam kekuasaan. Dan yang kami maksud dengan pengelolaan kekuasaan itu adalah bagaimana seorang politisi atau birokrat menggunakan kedudukan dan kekuasaannya sesuai dengan fiqih siyasah syar’iyah,fiqih muwazanah, dan lain-lain.

ü  Kesalahan Adalah Risiko Sebuah Aktifitas
Salah besar jika ada yang menilai bahwa kelompok penyeru da’wah di jalan ini tidak boleh melakukan kekeliruan. Sedangkan kekeliruan di jalan ini pun jelas terjadi. Dan inilah yang kami alami sepanjang perjalanan ini. Pertama kami pasti dapat menemukan kesalahan atau aib saudara kami. Kedua bahwa kesalahan dan kekurangan yang dilakukan saudara-saudara kami di jalan in adalah resiko dari mereka yang terus bergerak dan melakukan banyak aktifitas.

ü  Memelihara Dominasi Kebaikan Saudara
Ketika ada informasi miring yang kami terima terkait dengan saudara-saudara kami maupun institusi da’wah kami, pada saat itu kamiharus mempunyai tawaqqu’at (daya antisipasif) dan manna’ah (daya imunitas) yang memadai. Tawaqqu’at adalah semacam kewaspadaan menanggapi satu persoalan. Sedangkan sikap manna’ah adalah kemampuan kami menyaring dan memfilter diri dari sikap yang akan menghancurkan perjuangan kami.

ü  Hikmah Beharga Dari Kesalahan
Ada banyak hikmah yang kami dapatkan perjalanan da’wah ini saat kami harus menyikapi kekliruan yang dilakukan saudara-saudara kami. Hikmah pertama,kami menyadari bahwa kekeliruan yang dilakukan saudara kami tidak boleh kami sebarluaskan. Hikmah kedua,kekurangan dan kesalahan saudara kami ,jika benar dilkukan olehnya,maka kami harus lebih bersikap untuk bercermin dari kesalahan itu agar kami tidak ikut mengulanginya. Hikmah ketiga , tak ada yang istimewa dan sempurna dalm kehidupan ini. Semua manusia melewati fase pembentukan karakter dan pemikiran yang tidak sama. Hikmah keempat kesalahan membuat kami lebih tawadhu’. Hikmah kelima,ternyata diantara kami yang sibuk dengan cela dan cacat saudara di jalan ini,umumnya dilatarbelakangi karena kesenjangan aktifitas yang bersangkutan dengan da’wah ini.

ü  Mundur Dakwa,Mungkinkah?
Para juru da’wah tidak mengenal kata berhenti dari da’wah. Singkatnya kondisi apapun tidak akan menyebabkan kami dan para jura da’wah ‘uzlah atau pergi meninggalkan jalan ini. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam meninggalkan da’wah: pertama,uzlah atau mengisolasi diri dari masyarakat yang dilakukan para anbiya. Kedua boleh jadi menghindar dari tugas da’wah yang dilakukan orang-orang shalih terdahulu adalah upaya penyelamatan aqidah dari ragam kekacauan. Ketiga,mungkin juga mundur dari da’wah yang mereka lakukan itu membawa agama dan da’wah ri lingkungan tandus ke lingkungan subur. Keempat uzlah dilakukan sebagai langkah yang dianggap lebih baik daripada pencampuran atau interaksi yang menyulitkan pembedaan al haq dan al bathil. Kelima jika harus dilakukan langkah mubdur dari da’wah seorang da’I harus bisa menjelaskan latar belakang kemundurannya kepada masyarakat.

ü  Nasihat Sebagai Tiang Penyangga
Keliru pula yang menganggap bahwa menyampaikan nasihat akan lebih membuka peluang perpecahan dan ketidaknyamanan dalam jalan ini. Bahkan imam al mawardi di dalam adabu ad duniya wa ad din menyebutkan tidak ada kat berlebihan dalam menasihati dan melarang dari yang buruk diantara sesama saudara. Demikianlah keterpeliharaan kami justru ditopang oleh nasihat.

Bab V
Kesejukan Yang Meringankan Langkah



ü  Saling Berdo’a Diantara Sepi
Di jalan ini kami belajar menikmati do’a untuk saudara-saudara kami agar terbuka hatinya menerima da’wah. Jalan da’wah membawa kami tiba di sebuah komunitas do’a. perkumpulan orang-orang beriman yang saling mendo’akan. Inilah persekutuan do’a yang luar biasa karena kami memerlukan do’a dari siapapun terlebih orang-orang beriman. Kami yakin dengan firman Allah swt pada surat Asy Syu’ara ayat 26 .

ü  Keberkesanan Membaca Sirah Orang-Orang Shalih
Di antara pelajaran besar yang kami terima di jalan da’wah ini adalah kami bisa merasakan penghayatan mendalam dengan membaca sirah hidup Rasulullah saw dan para sahabatnya. Dan setiap kami membaca dan mengetahui jalan perjuangan mereka kami merasakan letupan-letupa di dalam hati yang menyebabkan ketepengaruhan yang kuat dan sulit dirasakan oleh orang-orang yang tidak berada di jalan ini.

ü  Keletihan Yang Menjadi Energi
Menempuh perjalanan ini memang melelahkan. Namun keletihan ini hanya patut disampaikan oleh Alllah swt. Karena dalam keadaan itulah yang akan mensuplai tenaga bagi kami untuk melakukan amal-amal kewajiban da’wah yang lainnya. Diantaranya adalah: pertama berusaha memurnikan kembali niat beramal da’wah karena Allah swt. Kedua tetap memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain yang membutuhkan terutama harta. Ketiga tidak meninggalkan amal ibadah wajib dan amal sunnah yang menjadi bagian yang selalu dilakukan sebelumnya.

ü  Kesulitan Yang Menambah Kekuatan
Karena jika kami mengalami kekurangan,kami akan lemah. Dan kelemahan kita bukanlah kelemahan yang stagnan. Kami masih mungkin kembali lagi menjadi kuat kembali. Akan tetapi jika kami diuji oleh ujian kenikmatan kami termasuk dalam hadits yang rasulullah saw katakan, “sungguh aku tidak takut atas kalian melakukan kemusyrikan…(HR. Muslim)

ü  Bangga Dengan Amal Shalih
Konsisten melakukan ketaatan memegang teguh ajaran Allah swt di tengah arus sosial yang berlawanan dari ketaatan dan syariat Allah swt. Jalan ini menanamkan keyakinan kuat kepada kami untuk tetap komitmen dengan prinsip-prinsip hidup tuntunan Allah swt di tengah penyimpangan yang luar biasa.

ü  Jalan Ini Sebagai Poros Ri’ayah Rabbaniyah
Da’wah adalah amal shalih yang diridhai Allah,sebagaimana shalat malam yang dilakukan seseorang yang diadukan oleh Rasulullah. Maka sikap al kaff’an ad da’wah (meninggalkan da’wah) sebagai salah satu bentuk amal shalih sama dengan keluar dari poros ri’ayah himayah rabbaniyah (pemeliharaan dan perlindungan rabbani).

ü  Potensi Besar Yang Tersingkap Di Jalan Ini
Kami memerhatikan sabda Rasulullah saw “sesungguhnya seorang hamba bisa dihalangi rizkinya karena dosa yang ia lakukan.” (HR.Ahmad) Hadits ini menjelaskan bahwa dosa dan kesalahan mempunyai dimensi pengaruh besar dan sangat berarti bagi terhalangnya kebaikan yang datang. Taubat yang identik dengan kembalinya seseorang kepada Allah,adalah ibadah yang tak mungkin kami lalaikan. Inilah yang tertera dalam firman Allah swt pada surat An Nur ayat 31. Kami sepakat bahwa taubat dan berada di jalan Allah adalah kunci sukses semua hal dalam hidup ini.

ü  Bergerak Karena Diri Sendiri, Bukan Karena Orang Lain
Perjalanan ini memberi keyakinan pada kami bahwa kami tidak akan bisa konsisten dan teguh berjalan jika masih tetap mengandalkan orang lain untuk terus menerus mengarahkan dan mendorong kami bergerak dalam da’wah. Apalagi bila kami memahami tak ada manusia yang sempurna dan terlalu bergantung pada figur bisa menyebabkan seseorang terjerumus pada pemikiran taqdiis (pensakralan) yang justru tidak mungkin terjadi dan terlarang. Itu sebabnya kekeliruan atau kesalahan sebagian dari saudara kami bahkan pemimpin kami seharusnya tidak membuat kami meninggalkan jalan ini atau tidak mempengaruhi aktifitas pengabdian kami di jalan ini.

ü  Mengejar Kesempurnaan
Manusia pada tabiatnya kurang dan tidak sempurna. Seperti kondisi para juru da’wah yang melakukan aktifitas dengan sepenuh usahanya untuk mencapai kesempurnaan.  Nilai sebuah gerakan organisasi da’wah ada pada prinsip-prinsip perjuangannya,bukan pada sikap personilnya. Selama sifat negatif yang muncul dari personil gerakan da’wah itu terjadi karena mereka mengurangi porsi pembinaan,tazkiyah,dan belum mendapat solusi permasalahan dan belum tertutup lubang kelemahan dan kekurangan mereka maka solusinya masih mungkin dilakukan. Di jalan da’wah kami memperoleh beberapa pelajaran:

Pertama kami harus mendasari sudut pandang kami pada prinsip bahwa futur(kelemahan) bisa menimpa setiap mukmin,tapi ia harus berusaha bersunguh-sungguh agar terlepas dari kondisi futur. Kedua kami harus membawa paradigma kami pada sebuah kenyataan bahwa menyerah pada kondisi futur berarti keterlambatan dari perjalanan menuju ketaatan dan kebaikan.

ü  Peristirahatan, bernama terminal canda
Perjalanan ini sangat melelahkan. Maka kamipun membutuhkan terminal-terminal peristirahatan di jalan ini. Tempat kami merasakan kegembiraan bersama dan meregangkan otot dan sendi-sendi. Sebagaimana Rasulullah saw pun memiliki ruang canda dan tertawanya sendiri dengan para sahabatnya.meski demikian catatan perjalanan para salafushalih itu bukan porsi canda dan gurauan menjadi dominan dalam kehidupan mereka. Dan bagi kami menempuh perjalanan da’wah, meninggalkan pelajaran pada kami tentang kebutuhan jiwa untuk beristirahat dan tertawa,namun tetap pada porsi dan batasan etikanya.

ü  Perjalanan ini tidak boleh berhenti
Kami harus tetap bertahan dan meneruskan perjalanan ini. Kami tidak boleh tergelincir akibat orang-orang yang tergelincir dari jalan ini. Karena kebenaran akan tetap eksis dan jalan ini menunjukkan fakta kepada kami bahwa perjalanan bersama kebathilan hanya bergulir satu masa. Sementara perjalanan bersama kebenaran itu akan terus berlangsung hingga akhir masa. Dan di jalan da’wah ini kami mempelajari bahwa banyak ungkapan dan kata-kata yang tidak mampu menyentuh hati pada saat diucapkan tetapi terekam dalam benak seseorang. Dan seperti firman Allah swt pada surat Ibrahim ayat 25.

Sumber : Buku "Beginilah Jalan Dakwah Mengajarkan Kami"

0 comments:

Posting Komentar