Di dalam buku Ma’aalim Fith-Thoriq (Petunjuk Jalan) Sayyid
Qutb menulis bab khusus dengan judul Kebanggaan Iman. Bab ini menegaskan
bahwa orang beriman adalah manusia yang senantiasa menjalin hubungan
keimanan yang kuat dengan Rabb-nya, Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan
jalinan hubungan imannya yang kuat dengan Allah subhaanahu wa ta’aala
menyebabkan dirinya menjadi manusia yang bermental kokoh. Ia tidak
pernah merasa hina atau bersedih hati. Malah sebaliknya ia selalu
merasakan ketinggian dan kemuliaan di dalam hidupnya karena dirinya
tersambung dengan Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Inilah yang
dimaksud oleh Sayyid Qutb dengan Kebanggaan Iman.
Bab ini terasa sangat penting jika dikaitkan dengan realitas dunia
modern yang penuh fitnah. Suatu dunia yang justeru menawarkan berbagai
kebanggaan palsu. Ada kebanggaan harta, kebanggaan tahta dan jabatan,
kebanggaan teknologi, kebanggaan intelektual-formal, kebanggaan
popularitas dan kebanggaan-kebanggaan duniawi lainnya. Semua bentuk
kebanggaan palsu tersebut tidak ada kaitan dengan iman kepada Allah
subhaanahu wa ta’aala. Sehingga menurut kajian Kebanggaan Iman
bentuk-bentuk kebanggaan duniawi itu hakikatnya sangat lemah dan rapuh.
Bahkan bersifat hina dan tidak berarti di mata Allah subhaanahu wa
ta’aala.
Orang yang merasakan kemuliaan dan ketinggian hanya karena berbagai
kebanggaan duniawi adalah orang-orang yang tertipu. Boleh jadi ia tampil
dengan self-confidence (percaya-diri) yang tinggi sewaktu masih di
dunia. Tetapi di akhirat kelak ia akan menyadari bahwa ia telah
terpedaya. Sehingga ia akan menyesal telah membanggakan diri dengan
kebanggaan-kebanggaan palsu. Itulah penyesalan yang sangat terlambat dan
tentunya tiada berguna.
Syetan sangat cerdik menipu manusia dengan berbagai kebanggaan
duniawi. Syetan menyuruh manusia agar jangan peduli dengan kebanggaan
iman sebab itu adalah perkara yang terlalu abstrak dan tidak dapat
dilihat secara langsung. Sementara itu kebanggaan duniawi bersifat
kongkrit dan mudah terukur. Sehingga muncullah gelombang manusia yang
masuk ke dalam perangkap syetan.
Kalau yang terperangkap adalah manusia awam yang jahil akan agamanya
kita tentu prihatin, tetapi masih dapat memahaminya. Ironisnya, dewasa
ini kita menyaksikan mereka yang terjerat tipuan syetan adalah
orang-orang yang dikenal khalayak ramai sebagai orang-orang yang biasa
ikut pengajian dan tarbiyyah, bahkan para ustadz dan ahli ilmu
syar’iyyah Islamiyyah. Mereka adalah orang-orang yang semestinya tampil
mengarahkan masyarakat luas agar mensyukuri dan mempertahankan
Kebanggaan Iman. Alih-alih melaksanakan kewajibannya sebagai mercusuar
di tengah arus zaman penuh fitnah, mereka malah menjadi fihak yang
mempromosikan pentingnya kebanggaan duniawi seperti kebanggaan akan
tahta dan jabatan.
Mereka rubah tolok-ukur keberhasilan da’wah. Keberhasilan da’wah
Islam tidak lagi dinilai berdasarkan berapa banyak orang yang semakin
beriman dan istiqomah. Tetapi dinilai berdasarkan berapa banyak dan
berapa tinggi jabatan politik dan pos struktural kekuasaan yang berhasil
direbut. Kebanggaan tahta dan jabatan menjadi pembicaraan utama. Semua
enersi dikerahkan untuk mencapai kebanggaan yang satu ini. Enersi waktu,
fisik, batin, fikiran, dana dan doa semuanya dipusatkan demi kesuksesan
merebut kekuasaan formal. Kebanggaan iman semakin jarang dibicarakan
dan malah semakin dirasa aneh dan tidak penting. Kerugian adalah saat
seorang aktifis da’wah tidak berhasil merebut atau mempertahankan
jabatan politiknya. Keterlibatan dalam suatu kegiatan maksiat tidak
dinilai sebagai sebuah kerugian, melainkan sebuah perilaku manusiawi
yang wajar dan perlu dimaklumi. Mengejar ridho Allah menjadi kalah
penting dibandingkan upaya image-building (pencitraan) dalam rangka
mendapatkan dukungan rakyat luas.
Sayyid Qutb menjelaskan Kebanggaan Iman berpedoman kepada sebuah ayat Al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut:
وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الأعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih
hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika
kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran 139)
Selanjutnya Sayyid Qutb mengomentari ayat di atas dengan uraian sebagai berikut:
“Dia melukiskan suatu keadaan yang tertinggi yang harus mendasar
dalam kalbu seorang mukmin dalam menghadapi apa pun. Suatu kebanggaan
karena iman dan sendi-sendinya yang mengatasi seluruh sendi yang bukan
bersumber dari iman.
Suatu ketinggian yang mengatasi seluruh kekuatan di bumi yang jauh dari
dasar iman; dan mengatasi seluruh sendi yang hidup di bumi ini yang
tidak bersumber dari iman. Mengatasi seluruh tradisi di bumi ini yang
tidak dicetak oleh iman. Mengatasi seluruh undang-undang di bumi ini
yang tidak disyariatkan oleh iman, dan mengatasi seluruh posisi di bumi
ini yang tidak ditumbuhkan oleh iman.
Suatu ketinggian yang walaupun tenaga lemah, jumlah ummat yang
sedikit dan kemiskinan harta, sama dengan ketinggian di waktu kuat,
jumlah yang banyak dan harta yang melimpah.
Suatu ketinggian yang tidak merasa terhina di hadapan kekuatan yang
zhalim, tidak merasa rendah di hadapan kebiasaan sosial dan hukum yang
bathil, dan tidak merasa rendah di hadapan posisi yang diterima oleh
manusia tetapi tanpa sandaran iman.” (Petunjuk Jalan – Penerbit Media
Dakwah – halaman 272)
Masalahnya bukan pada memiliki atau tidak memiliki jabatan dan
kekuasaan politik. Tetapi yang menjadi masalah apakah sesudah seseorang
memiliki kekuasaan politik masihkah ia menjadikan Kebanggaan Iman
sebagai tolok ukur kemuliaan dan ketinggian di dalam hidupnya? Dan
jawabannya bukan sekedar berupa sebuah pernyataan atau claim. Jawabannya
haruslah berupa bukti dalam perilaku dan kebijakan. Bukti terbaik
adalah berupa langkah-langkah bersyukur kepada Allah subhaanahu wa
ta’aala. Dan sebaik-baik bentuk bersyukur kepada Allah ialah berupa
pemanfaatan kekuasaan politik demi memastikan tegak dan berlakunya
dienullah serta hukum Allah di bawah wilayah otoritas kekuasaannya.
Bilamana seseorang yang memperoleh jabatan politik kemudian terlihat
nyata memberlakukan aturan dan hukum Allah subhaanahu wa ta’aala dalam
ruang-lingkup otoritas kepemimpinannya, berarti ia telah berlaku jujur
di dalam mempertahankan kebanggaan imannya. Tetapi bilamana seseorang
menjabat lalu sesudahnya tidak terlihat nyata adanya perubahan aturan
dan hukum jahiliyah diganti dengan hukum Allah subhaanahu wa ta’aala,
maka itu berarti ia telah melupakan Kebanggaan Iman dan terjebak syetan
ke dalam perangkap kebanggaan tahta dan jabatan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ
نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتْ
الْفَاطِمَةُ
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
bersabda: “Kalian akan rakus terhadap jabatan, padahal jabatan itu akan
menjadi penyesalan di hari kiamat, ia adalah seenak-enak penyusuan dan
segetir-getir penyapihan.”(HR Bukhari – Shahih)
Orang yang memiliki jabatan akan merasakan “seenak-enak penyusuan”
selama masa ia menjabat. Ia menikmati berbagai fasilitas dan gaji yang
mencukupi hidup diri dan keluarganya. Dan ia pasti mengalami
“segetir-getir penyapihan” saat jabatannya mesti berakhir. Itulah
rahasia mengapa setiap orang yang menjabat pasti akan berusaha keras
melestarikan masa kekuasaannya.
اللهم حبب إلينا الإيمان وزينه في قلوبنا، وكره إلينا الكفر والفسوق والعصيان واجعلنا من الراشدين
“Ya Allah, tanamkanlah kecintaan kami kepada iman dan hiasilah hati
kami dengan iman. Dan jadikanlah kami benci kepada kekafiran, kefasikan
dan kemaksiatan. Dan jadikanlah kami golongan orang-orang yang
terbimbing.”
اللهم حبب إلينا الإيمان وزينه في قلوبنا، وكره إلينا الكفر والفسوق والعصيان واجعلنا من الراشدين
0 comments:
Posting Komentar