Konsepsi Akhlak dan Adab dalam Pendidikan Karakter

Leave a Comment

Assalamu'alaikum...
sedikit menshare catatan seorang sahabat...
semoga bermanfaat....

Setidaknya ada dua kesalahan mendasar dalam praktik pendidikan etika atau moral. Pertama, terdapatpendidikan moral yang belum dikaitkan dengan akidah. Kedua, nilai-nilai etika diajarkan sebatas pengetahuan dalam buku teks dan dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari untuk menghadapi ujian. Kekeliruan ini disebabkan ketiadaan faham tentang konsep akhlak dan adab dalam Islam. Menurut Syed Naquib al-Attas, ketiadaan faham ini merupakan gejala the loss of adab.

Kata ‘akhlak’ berasal dari bahasa Arab yang satu derivasi dengan kata ’khalaqa’, ‘khaliq’, dan ‘makhluq’. Secara etimologis, ‘akhlak’ memiliki ragam makna. Di antaranya, budi pekerti, agama, tabiat halus, fitrah dan lain-lain. Dari sini terdapat sebuah pengertian penting, bahwa akhlak itu bagian dari din (agama Islam), dan din itu sesungguhnya praktik dari faham akhlak itu.

Rasulullah Sallallau ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Bukhari). Nabi Muhammad Saw datang membawa ajaran agama Islam. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw juga satu misi dengan misi akhlak itu, yaitu menyempurnakan ajaran para Nabi sebelumnya. Ibn Jarir mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan pengoreksi terhadap ajaran Kitab-Kitab Suci sebelum Nabi Muhammad Saw (Ibn Kastir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, 65). Agama Islam merupakan agama fitrah.
Karena itulah, akhlak Nabi Muhammad Saw disebut akhlak al-Qur’an. Maka, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud akhlak itu adalah agama Islam itu. Dan praktik akhlak tidak boleh keluar dari jalur rambu-rambu Islam. Bahwasannya agama Islam itu agama yang berbudi. Sedang berakhlak itu adalah melaksanakan syariat yang ditetapkan dalam agama Islam. Tidak boleh disebut berakhlak jika bertentangan dengan syariat Islam. Syariat dan akhlak merupakan satu-kesatuan yang tak terpisah.
Yang menarik kata ‘akhlak’ dan ‘khaliq’ (pencipta) memiliki akar yang sama yakni ‘khalaqa’. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tidaklah Aku menciptakan (khalaqtu) jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat 56).
Al-Khaliq merupakan asma Allah (nama Allah) yang mulia. Allah juga memiliki nama al-Salam, yang ternyata juga satu derivasi dengan kata al-Islam. Hal ini menandakan bahwa akhlak dalam Islam itu terkait erat dengan teologi. Seorang Muslim mengamalkan akhlak bukan karena dorongan duniawi, tapi semata berdasarkan perintah Allah Swt yang Maha Pencipta (al-Khaliq).
Sejalan dengan itu, dalam pendidikan etika, Islam memiliki konsep adab. Menurut al-Attas, pendidikan Islam yang tepat itu adalah pendidikan ta’dib. ‘Ta’dib’, dan ‘adab’ berasal dari kata ‘adaba’.
Adab memiliki arti; kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti, menempatkan sesuatu pada tempatnya, jamuan dan lain-lain. Al-Attas memberi arti adab dengan mendisiplinkan jiwa dan fikiran. Maka ini merupakan uraian dari kata adab yang bermakna jamuan. Ia menyebut satu hadits, “Sesungguhnya Kitab Suci al-Qur’an ini adalah jamuan (ma’dabah) Allah di bumi, maka lalu belajarlah dengan sepenuhnya dari jamuan-Nya” (HR. Ibn Mas’ud).
Dalam keterangannya, al-Attas mengatakan bahwa adab itu mulia dan terhormat. Sebagaimana orang menjamu tamu. Berarti tamu itu adalah orang terhormat dan yang menjamu adalah mulia. Maksud dari keterangan itu adalah bahwasannya adab merupakan pelaksanaan perbuatan benar dan tepat, lawan dari perbuatan keliru. Adab menjadi benteng yang melindungi dari keaiban.
Maka orang beradab menurut al-Attas adalah orang yang baik yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Haq, memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.
Bisa dikatakan bahwa makna beradab secara sederhana adalah, tidak berbuat dzalim. Maksudnya, orang beradab adalah orang yang menggunakan epistemologi ilmu dengan benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil, dan mampu mengidentifikasi dan memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) yang salah. Setelah itu, metode untuk mencapai pengetahuan itu harus juga benar sesuai kaidah Islam.
Sehingga, seorang yang beradab (insan adabi) mengerti tanggung jawabnya sebagai jiwa yang pernah mengikat janji dengan Allah Swt sebagai jiwa bertauhid.
Dengan memahami konsep tersebut, maka pendidikan akhlaq tidak dapat dilakukan dengan pengajaran. Metode yang paling efektif adalah dengan ketauladanan, pembiasaan, kedisiplinan, nasehat dan bimbingan. Di sini nilai-nilai agama berperan penting dalam memotivasi kesadaran moral anak. Nilai-nilai seperti harta halal, rezeki, barokah dan sebagainya harus selalu didengungkan ke telinga anak-anak. Ini semua harus dikaitkan dengan makna taqwa dan ibadah kepada Allah serta keuntungan dan akibat-akibat yang diperoleh daripadanya di akhirat kelak.
Dalam pandangan Islam, pendidikan karakter adalah pendidikan berakhlak dan beradab. Proses mendidik anak harus memiliki empat proses, yaitu; konsisten (istiqamah), terpecaya (amanah) dan kontinyu (bi al-tikrar).
Karena itu, pendidikan karakter minus pemahaman agama tidak dapat diterima. Jika minus agama, maka pendidikan karakter hanya menilai perilakunya saja bukan pemahamannya. Konsepsi ini cukup mengkhawatirkan. Karena bisa saja anak tidak percaya Tuhan, tapi memiliki prilaku ‘baik’ seperti yang ditargetkan. Menurut Dr. Adian Husaini, karakter saja tidak cukup, tapi harus beradab. Karena itu, penting pendidikan etika berwawasan akidah. Karena akidah-lah yang mengontrol perilaku manusia.


0 comments:

Posting Komentar